"Facebook", Lautan Tanda dan Upaya Memaknainya
Senin, 8 Mar 2010 12:48:12 KINI, facebook menjadi produk budaya paling eksotik, untuk diperbincangkan ataupun "diacak‑acak" atas keberadaannya yang menjadi magnet komunikasi atas jutaan manusia di dunia dengan berbagai dampaknya. Ketika fakta menyodorkan sisi negatif facebook, keberadaan jejaring sosial yang mulanya berakar dari lingkup kampus kesohor di AS, Harvard ini nyaris ditempatkan sebagai medium yang wajib dihindari. Padahal sebagai teknologi, atau pula dalam kapasitas sebagai produk budaya yang bak lautan tanda dan simbolika, facebook juga tak semata "terdakwa" atas serangkai penyalahgunaan yang layak dihujat. Bagaimana menempatkan facebook dalam konstelasi makna yang positif dan berdayaguna, berikut perbincangan Bernas Jogja dengan dosen jurusan desain visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Jogja, Sumbo Tinarbuko yang mengangkat facebook dalam berbagai kajian dan telaah. Selain dampak negatif yang tersodor dari facebook yang ramai diberitakan akhir‑akhir ini, bagaimana melihatnya secara proporsional? Di mana‑mana, respons atas sebuah hal pasti bagai dua sisi mata uang, ada sisi negatif dan positif. Bisa dilihat dari dua sisi itu. Sebagaimana juga fenomana facebook (fesbuk), tergantung bagaimana melihatnya. Meski sebagai sebuah fenomena yang mengikat demikian besar minat masal untuk mengaksesnya tak bisa dikesampingan begitu saja. Sebagai sebuah produk budaya kreatif, sang kreator Zuckerberg awalnya menciptakan facebook dalam konteks jejaring komunikasi kampus yang melibatkan interaksi intelektual. Kenapa kini bisa menjadi bergeser, dan terkadang justru dinilai nirmakna? Teknologi tidak bisa dibendung. Termasuk teknologi kreatif, apalagi bila itu demikian mudah untuk diakses, siapapun dari berbagai kalangan. Sebagai sebuah ruang terbuka, nyaris tak ada prasyarat untuk memasukinya. Ibaratnya facebook itu lahir sebagai bagian dari teknologi yang mampu menyederhakan sesuatu yang rumit. Yang bergerak dan menular, nyaris tanpa harus dipelajari secara khusus, dan malahan lebih ditularkan, dalam istilah saya, dari "conthong" ke "conthong". Orang tidak harus menguasai teknologi tertentu untuk bisa menguasainya. Memang akan berbeda lagi bila melihatnya sebagai sebuah produk kreatif, dalam artian mendayagunakannya sebagai medium yang optimal, tidak sekadar sebagai ruang "curhat' atau bahkan memaki orang dengan tidak jelas. Itu yang saya singgung di buku saya "Mendengarkan Dinding Fesbuker". Apa yang Anda utarakan dalam buku tersebut? Sebetulnya buku itu lebih sebagai bentuk inventarisasi pola‑pola perilaku fesbuker dilihat dari komentar yang di‑share atau diistilahkan status. Ada yang kemudian demikian mengentengkan fungsi fesbuk dengan menulis hal‑hal, yang ya bisa dikatakan sangat remeh‑temeh seperti misalnya "ngantuk", "lapar" dan sebagainya. Memang sah‑sah saja, tapi mbok iyao bisa menuliskannya dengan lebih baik dengan bahasa dan cara pengungkapan yang tidak asal‑asalan. Saya sebut pula bahwa facebook menjadi media pembentukan realita semu ketika seseorang bisa berpura-pura menjadi apa dan siapa yang berbeda dengan jati diri dia sesungguhnya dalam upaya pencitraan yang berbeda dari keseharian. Media ini seolah hablur bahkan kehilangan makna. Bagaimana semestinya menyikapi facebook? Agar teknologi yang memudahkan ini bisa hadir dengan memberikan makna, tidak mengecilkannya, meniadakannya, atau malah menjadikannya kontraproduktif ya mestinya menempatkannya secara proporsional. Melihat dan membaca status‑status yang asal-asalan terus terang cukup memprihatinkan dan malah mengarah pada hal‑hal yang kontraproduktif. Saya juga punya akun facebook, tapi saya memanfaatkannya untuk sharing hal‑hal yang perlu saja. Tapi apakah dari hal yang sepintas remeh-temeh itu benar-benar tidak ada manfaatnya? Memang pada akhirnya sebagai sebuah fenomena, "keremeh‑temehan" tetap bisa ditarik sebagai kajian yang malah mengangkatnya dalam analisis pemakanaan lebih lanjut, termasuk pula kehadirannya sebagai produk budaya, atau dalam ranah kerja saya sebagai produk desain visual, tak lepas dari pro‑kontra keberadaannya. Kajian tentang facebook, dilihat dari sisi budaya, antropologis, hingga sebagai bahan kajian desain visual cukup banyak. Memang walhasil medium yang kadung diidentikkan sebagai remeh‑temeh itu bisa menjadi ceruk kajian menarik, termasuk melihatnya dalam gelombang fenomena yang mampu mengikat jutaan massa dari berbagai belahan dunia. Buku "Mendengarkan Dinding Fesbuker" itu pun banyak digunakan sebagai referensi kajian oleh mahasiswa berbagai jenjang. Lepas dari hal negatif, menjadi kekuatan yang luar biasa juga ya agaknya produk budaya dan teknologi yang Anda sebut ditularkan dari "conthong" ke "conthong" itu? Ya itulah. Sayangnya sekali lagi, bangsa ini masih sebagai taraf konsumen. Lagi‑lagi terus‑terusan sebagai konsumen. Mestinya suatu saat dengan kemampuan mendayagunakan teknologi dan menempatkannya lebih sebagai produk yang positif, lautan simbol, tanda, karya kreatif juga produk budaya yang "migunani", bangsa ini bisa membuat hal serupa, yang bisa dimanfaatkan dengan baik. Sebagaimana perlakuan atas produk teknologi dan budaya yang lain, dampak positif ataupun negatif yang didapat walhasil berpulang pada penggunannya. Begitu? Saya rasa banyak hal yang bisa dikaji dari facebook, tergantung bagaimana menempatkan, melihatnya dan juga menyikapinya. Apakah akan menjadikannya medium yang bermanfaat atau tanpa makna, tergantung pula pada penggunanya. Sebetulnya, memang banyak yang bisa dilihat dari sebuah facebook, selain fenomena dan kehebohan yang ditimbulkannya. Misalnya dari segi desain visual saya tengah mempersiapkan sebuah kajian yang lebih serius daripada buku pertama saya tentang facebook yakni "Plesetan Parodi Ala Fesbuker Seniman". Selama ini seniman‑seniman di Jogja cukup banyak memanfaatkan facebook sebagai medium karya visual, seperti seniman Eddi Hara ataupun Heri Dono dalam ajang Biennale beberapa waktu lalu. Mereka menampilkan karya‑karya seni parodik dan plesetan via facebook itu yang hendak saya kaji. Para peneliti dan pengkaji budaya, semiotika, desain visual pun bisa memanfaatkannya untuk pemaknaan lebih lanjut. (hap)
0 Response to ""Facebook", Lautan Tanda dan Upaya Memaknainya"
Posting Komentar