ACFTA, antara Wisnu dan Durga
09 Maret 2010
- Oleh Imam Munadjat
Sudah dua bulan lebih ACFTA berjalan dengan bermacam reaksi di kalangan masyarakat. Di Bali, perajin dupa (alat kelengkapan ibadah) mengeluh karena masuknya dupa dari China. Di Pasar Tanah Abang Jakarta ada sweeping kain produk China. Di Yogyakarta, pejabat Dinas Perdagangan mengisyaratkan agar masyarakat pedagang dan petani meningkatkan kualitas produknya agar dapat bersaing dengan produk-produk China, termasuk buah-buahan.
Sebuah stasiun televisi pada Januari lalu memberitakan, eksistensi industri kecil dupa di Bali terancam karena masuknya dupa dari China. Pangsa pasar industri itu bagi pengusaha di Bali cukup jelas, mapan, besar, dan kontinu, karena dupa merupakan kebutuhan dan bagian dari peribadatan sebagian besar masyarakat Bali. Satu indikator sederhananya, impor dupa China tidak mungkin dalam partai kecil. Karenanya, sangat mungkin pada saatnya nanti kebutuhan dupa di Bali akan terpenuhi oleh dupa impor. Jadilah usaha lokal tersisishkan karena dupa impor (seperti umumnya komoditas lain) lebih berkualitas, lebih murah, karena dengan pasar bebas, bebas pula bea masuk untuk komoditi tertentu ke negara lain.
Masa depan dupa di Bali dan geliat reaksi setempat merupakan titik kecil dari potret perekonomian Indonesia di era pasar bebas dan globalisasi. Tentu banyak lagi potret buram lain kini dan ke depan. Mungkin makin banyak gambaran ”dupa China di Bali” terkait dengan komoditas lain di tempat lain di Tanah Air. Pasar bebas tidak lebih sebagai pintu masuk upaya ”legalisasi penjajahan dan dapat masuknya dengan mudah dan murah” negara-negara besar yang sangat berkepentingan untuk ”memasarkan” hasil industrinya ke negara lain.
Prof Sri-Edi Swasono memperingatkan, pasar bebas dan globalisasi adalah tantangan sekaligus kesempatan. Globalisasi harus dihadapi. Kita harus ikut mendesainnya, namun bangsa ini harus kuat, kelembagaan ekonomi masyarakat juga harus tangguh, karena yang terjadi saat ini sarat dengan kepentingan ekonomi. Dengan cara apapun, dan beragam instrumen pendekatan dipergunakan untuk menggolkan tujuan dagangnya.
Kalau bangsa ini lemah, globalisasi ekonomi semakin berpotensi untuk memperlebar kesenjangan, bahkan polarisasi ekonomi. Kondisi yang terjadi kemudian adalah dependensi (kebergantungan), baik antarnegara maupun sesama anggota masyarakat. Hal itu bepotensi besar menjadi pintu masuk kolonialisasi, baik terhadap individu maupun negara. Memang sangat memprihatinkan, dengan globalisasi dan pasar bebas perekonomian bangsa ini telah menjadi liberal. Terkesan pemerintah terbawa arus dan menyerah pada neoliberalisme sebagai representasi kapitalisme dan imperialisme baru.
”Dupa Bali” mestinya menyadarkan, sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat kita tengah bergelut dalam percaturan budaya global. Kehidupan berbangsa tengah diuji.
Mestinya, untuk bisa berperan dalam globalisasi perdagangan, harus mempersiapkan diri, bukan hanya bereaksi ketika dampaknya sudah mulai terasakan bagi perdagangan dalam negeri. Karena globalisasi tidak dapat dihindari dan harus dihadapi, seharusnya kita aktif mempersiapkan diri, bukan reaktif dan menyalahkan orang lain.
Wisnu dan Durga Mengomentari perjalanan globalisasi dan pasar bebas ala Adam Smith, Prof Herman Soewardi mengemukakan, banyak yang kecele, karena teori Bapak Ilmu Ekonomi itu diharapkan melahirkan Wisnu (tokoh wayang berperangai baik yang bertugas antara lain memelihara keseimbangan alam), ternyata pasar bebasnya Smith yang diharapkan juga menjadi sang pengatur (the invisible hand) malah melahirkan Durga (Batari Durga adalah tokoh pewayangan yang menjadi idola bagi mereka yang suka mengambil jalan pintas).
Sementara Sri-Edi Swasono menyebut Smith sebagai pemimpi besar, karena pasar sempurna (yang diharapkan mampu mengatur pasar) sebagai syarat beroperasinya pasar bebas dengan baik, tidak pernah lahir sampai sekarang meskipun ”mimpi” itu telah lebih dari 250 tahun (Swasono, 2005). Kalau saja Adam Smith masih hidup dan menyaksikan apa yang terjadi sekarang, bisa jadi dia akan lebih kecele dan (mungkin) merasa sangat bersalah karena ternyata teorinya itu bakal menyengsarakan banyak orang di berbagi negara yang kalah bersaing dalam menghadapi globalisasi karena tidak mampu bersaing dalam pasar bebas.
Globalisasi sebagai suatu proses atau gejala mengglobal atau proses menjangkau dan merambat ke seluruh dunia, sebenarnya bukan hal baru berkaitan dengan bidang ekonomi. Ketika terjadi kolonialisasi Barat terhadap bangsa-bangsa Asia dan Afrika empat abad silam, globalisasi juga sudah terjadi, khususnya di bidang budaya. Gejala mendunianya budaya Barat ini bukan hanya diperkenalkan, tetapi juga dipaksakan kepada bangsa terjajah.
Pasar bebas dan globalisasi di zaman modern ini sebenarnya tidak berbeda dari era kolonialisasi itu. Kalau dahulu penjajahan dilakukan dengan pendudukan dan penundukan nyata terhadap suatu negara oleh negara lain ”yang merasa lebih perkasa”, maka kolonialisasi modern tidak perlu pendudukan fisik, tetapi akibatnya bisa jadi lebih parah, yang sejatinya adalah pemunculan kembali sistem ekonomi kapitalis (neoliberalisme).
Nafsu menjajah (baik model kuno maupun modern) yang sejatinya berintikan keserakahan akan selalu ada dan terjadi oleh negara-negara besar dan kuat yang ingin selalu mendominasi, mendikte bangsa-bangsa lain yang lebih kecil dan lemah. Semua itu dilakukan untuk menciptakan ketergantungan, bukan saling bergantung untuk membangun kebersamaan. Efek ekonomi global inilah, menurut Faisal Baasir (2004) menciptakan bentuk kompetisi ekonomi yang menggiring munculnya economized, sebuah dunia yang tidak ramah, tidak demokratis, dan tidak manusiawi demi memenuhi ambisi dan produktivitas yang lebih tinggi.
Untuk memenangkan penjajahan modern ini dipergunakan senjata canggih berupa penetrasi kesadaran umat manusia dengan beberapa instrumen pendekatan, seperti liberalisasi perdagangan dan investasi yang seolah-olah memberikan kesan persamaan kesempatan maupun hak, isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, isu lingkungan hidup, hak paten serta seabrek nilai dan jargon-jargon (yang terkesan) penuh pesan moral dan egaliter.
Semangat kapitalisme itu akan dirasa menjadi legal dan wajar ketika semuanya dikemas dengan berlindung dalam konsep moral berdasar kebebasan hak. Ketika kebebasan hak dijadikan topeng tindakan, sekalipun tidak mengindahkan kemampuan yang berbeda pada pihak lain yang bersaing, seakan-akan menjadi sesuatu yang ”halal-halal” saja dilakukan. Dupa Bali adalah gambaran awal bakal lahirnya persaingan bebas yang memaksa seseorang untuk hidup berekonomi yang dilaksanakan dengan bersaing untuk dapat bertahan hidup dan semata-mata meraih keuntungan ekonomi,meskipun harus mengabaikan nilai-nilai lain, termasuk nilai-nilai Ilahiyah maupun sosial.
Pada sisi inilah, menurut Iraj Toutounchian (2009), semangat dan prinsip dasar kapitalisme semakin kelihatan. Karena prinsip dasar kapitalisme menurutnya adalah mementingkan diri sendiri yang serasi dengan philosophy of individualism. Nilai dasar manusia dalam konsep kapitalis adalah tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah didapatkan dan dimilikinya, keserakahan yang tidak terkendali dan mementingkan diri sendiri. Ketiganya selalu berjalan bersamaan.
Dupa Bali adalah gambaran ekonomi persaingan dan perdagangan bebas yang mengajarkan ekonomi peperangan, free fight dengan pelaku homo economicus untuk memasuki kehidupan brekonomi dengan tensi tinggi. Gong perdagangan bebas ASEAN-China sudah ditabuh per 1 Januari. Hanya ada dua pilihan; hanyut atau melawan. Kalau mau hanyut, ikutlah tanpa melawan karena perlawanan hanya akan terjadi setengah hati. Melawan berarti ditantang untuk hidup, mencari jalan lain agar tetap eksis, dicambuk untuk mencari sistem ekonomi lain. Bukankah masih ada sistem ekonomi Islam (di samping sistem lain) yang memiliki visi, misi, dan filosofi yang berbeda. Sistem ini diharapkan akan menjadi sebuah peradaban dan menjadi besar pada masa depan, tentu ketika ada komunitas kecil yang memulai.(10)
— Drs H Imam Munadjat, SH, MS, staf pengajar Unissula Semarang, mahasiswa S3 Program Studi Ekonomi Islam Unair Surabaya
http://suaramerdeka.com
0 Response to "ACFTA, antara Wisnu dan Durga"
Posting Komentar