ACFTA, Program Darurat dan Strategi Baru Industrialisasi

Kamis, 04 Maret 2010 00:00 WIB
Kalau kita petakan opini tentang ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) dalam masyarakat Indonesia, ada yang optimistis, pesimistis, dan kritis. Yang optimistis antara lain diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang mengatakan Indonesia dalam menghadapi ACFTA tidak ada masalah dan selebihnya merupakan peluang bagi peningkatan kemakmuran. Sebaliknya, yang pesimistis pada umumnya mengatakan ACFTA merupakan ancaman yang akan menimbulkan bencana yang makin memperparah situasi kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan bangsa. Kalangan yang kritis (termasuk penulis) menganggap persoalan ACFTA tak lagi dipandang sebagai wacana (optimistis maupun pesimistis) karena di depan mata telah ada tantangan perdagangan bebas di antara 10 negara ASEAN dengan China mulai Januari 2010. Yang penting, bagaimana menciptakan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha (swasta besar, UMKM, BUMN, dan koperasi), dan civil society (di dalamnya ada LSM, perguruan tinggi, lembaga riset, dan masyarakat sebagai subjek maupun objek pelaksanaan program pembangunan). Yang penting ke depan harus ada 'strategi baru industrialisasi' dalam menghadapi ACFTA tersebut. Dalam jangka sangat pendek (satu tahun ini) perlu disiapkan program darurat.

Program darurat

Sesungguhnya dalam jangka pendek, bagi masyarakat miskin--yang penghasilan per harinya US$2, yakni lebih dari 115 juta rakyat, dengan ACFTA akan menyajikan barang-barang relatif lebih murah dan berkualitas, terutama berasal dari China. Jadi, daya beli mereka relatif terdongkrak. Namun dari sisi ekonomi keseluruhan, akan terjadi peningkatan defisit perdagangan, kemiskinan, dan pengangguran. Oleh karena itu, diperlukan program darurat. Pertama, menyangkut strategi intensifikasi ekspor barang dan jasa ke China, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang ekonominya lebih maju daripada Indonesia, dan ekstensifikasi ekspor ke negara-negara yang ekonominya relatif di bawah Indonesia seperti Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Kedua, meningkatkan program pemberdayaan ekonomi rakyat (PNPM, KUR), jaring pengaman sosial (beras raskin, BLT), tapi lebih strategis lagi dengan mengubah fokus dari stimulus fiskal kepada program padat karya agar langsung meningkatkan daya beli rakyat secara masif serta perbaikan kondisi pengiriman TKI ke luar negeri (karena akan terjadinya peningkatan PHK dan jumlah orang miskin). Ketiga, implementasi UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) untuk proteksi sosial terutama program kesehatan (Jamkesmas) untuk seluruh penduduk dalam mengantisipasi pelbagai bencana alam dan sosial.

Strategi industrialisasi

Selanjutnya secara lebih sistematis, untuk mengatasi proses deindustrialisasi akibat ACFTA, diperlukan strategi baru industrialisasi. Dalam strategi industrialisasi lama prioritasnya bertumpu kepada pelaku skala besar dan at all cost mengundang korporasi asing. Kemudian UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan koperasi harus menyesuaikan, bermitra secara terpaksa atau gulung tikar karena digantikan oleh swasta besar (nasional dan asing). Hal itu disebabkan segala kebijakan fiskal, moneter, perbankan, pasar modal, infrastruktur, otonomi daerah, tata ruang, birokrasi, perpajakan, inflasi, perdagangan, dan seterusnya diarahkan agar sebesar-besarnya untuk kenyamanan dan kepentingan pelaku skala besar baik nasional maupun asing untuk target pertumbuhan ekonomi tertentu (7% hingga 10%).

Dengan begitu, dalam strategi pembangunan lama, asing dan besar adalah target utama. UMKM dan koperasi menjadi entitas ekonomi yang harus menyesuaikan, bermitra serta kalau perlu harus tersisih demi tercapainya target pertumbuhan agregat nasional yang telah ditetapkan sebelumnya. Inilah merupakan strategi industrialisasi yang growth oriented model yang berjalan sejak Orba hingga sekarang. Ini ternyata tak berkelanjutan (unsustainable) karena sangat bergantung kepada kondisi makroekonomi dan para pelaku korporasi global (terutama di New York, Tokyo, Paris, London, dan Berlin, Singapura, bahkan Kuala Lumpur dan Beijing). Hal itu dengan segala konsekuensi negatifnya terhadap ekonomi nasional berupa kemiskinan dan pengangguran massal serta ketimpangan yang tajam yang kesemuanya tercatat dalam data statistik resmi.

Strategi baru industrialisasi seyogianya lebih 'berorientasi kepada penciptaan kesempatan kerja penuh' (full employment strategy) dan karena itu haruslah bertumpu kepada ekonomi berbasis luas. Yakni ekonomi rakyat yang terkait dengan sumber daya domestik yang umumnya berlingkup sumber daya pertanian dalam arti luas dengan asupan pelbagai teknologi tepat guna. Dalam keterbatasan skala ekonomi, pelbagai usaha UMKM dan koperasi seyogianya diupayakan bermitra dengan pelaku ekonomi besar baik nasional (swasta dan/atau BUMN) maupun asing sehingga terjadi alih pengetahuan, manajemen, dan teknologi yang dibutuhkan UMKM dan koperasi, terutama untuk kebutuhan perluasan skala usaha baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

Dalam strategi baru industrialisasi ke depan dengan otonomi daerah yang semakin baik dan pembelajaran dari ekonomi rakyat dalam proses pertumbuhan ekonomi yang berjalan sebelumnya, sudah saatnya dilaksanakan strategi industrialisasi yang lebih berkelanjutan. Ekonomi rakyat di daerah-daerah dengan kondisi yang spesifik serta keunggulan komoditas masing-masing menjadi target pengembangan dari kebijakan-kebijakan ekonomi (fiskal, moneter, perbankan, perdagangan, infrastruktur dan seterusnya seperti telah disebutkan). Para pengusaha besar nasional dan asing yang memiliki kekuatan modal, manajemen, teknologi, informasi, dan jaringan serta dengan peluang usaha di dalam maupun luar negeri yang umumnya juga mempunyai daya terobos ke mana saja investasi mereka dapat diarahkan secara menguntungkan.

Oleh karena itu, dalam menghadapi ACFTA, investasi yang akan masuk ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia maupun ke Jakarta adalah jenis-jenis usaha yang seyogianya dapat bermitra/bersinergi atau mengisi jenis usaha yang tak terjangkau oleh skala ekonomi UMKM dan koperasi. Dengan begitu tidak hanya tak menimbulkan dampak negatif dengan menambah pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Itu lebih jauh akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pertumbuhan secara berkelanjutan.

Mendorong kemandirian

Dengan strategi baru industrialisasi seperti gambaran tersebut juga dapat mendorong kemandirian dalam pertumbuhan industri nasional dengan target penguasaan dan pendalaman teknologi tepat guna baik teknologi tinggi, menengah, maupun sederhana bergantung pada kebutuhan skala ekonomi dan prioritas. Terlebih lagi dalam menghadapi ACFTA, langkah untuk menggalakkan produksi dalam negeri yang berulang-ulang disuarakan kalangan pemerintah, pengamat, dan dunia usaha patut didukung. Namun, tak hanya berhenti dengan langkah ad hoc. Tapi semestinya dikaitkan juga dengan sebuah grand strategy untuk kebangkitan dan kemandirian industri nasional dalam pelbagai skala usaha (kecil, menengah, dan besar) dengan pengembangan, penguasaan, dan pendalaman teknologi tepat guna yang dibutuhkan. Itu biasanya akan dikritik bahkan disabot oleh kalangan ekonom neolib domestik maupun asing karena terutama kalangan asing tak mau kehilangan pangsa pasar produk barang dan jasa mereka.

Dalam perspektif itulah keperluan strategi baru industrialisasi yang menekankan kemandirian ekonomi dan industri nasional sebagai kelanjutan berkembangnya ekonomi rakyat (karena bermitra dengan usaha besar nasional maupun asing) sehingga menciptakan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dan berkualitas. Dalam strategi ini mungkin saja awalnya tak tercapai kuantitas pertumbuhan ekonomi yang tinggi (sekitar 4%-5%), tetapi dalam jangka menengah dan panjang akan jauh lebih tinggi (bisa di atas 10% secara berkelanjutan). Hal ini karena secara empiris, ekonomi yang bertumpu kepada ekonomi rakyat yang berbasis luas akan memiliki multiplier effect yang lebih tinggi (pertanian dalam arti luas umumnya sekitar 3, sedangkan manufaktur teknolog tinggi umumnya hanya sekitar 2). Oleh karena itu, perusahaan skala besar nasional maupun asing akan sangat dibutuhkan untuk mendongkrak transfer teknologi, manajemen, dan pengetahuan. Namun, harus dengan strategi yang mampu mengarahkan untuk tercapainya kemandirian ekonomi dan industri nasional. Dengan skenario demikian, sesungguhnya akan menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi yang lebih hakiki, terutama dalam menghadapi ACFTA yang sudah di depan mata.

Dan segera kita meninggalkan strategi induslisasi lama yang penuh dengan dinamika capital inflow & outflow yang besar dan cepat yang menggelembungkan kuantitas pertumbuhan. Namun karena kontennya sebagian bersifat spekulasi serta hanya kepada stabilitas makroekonomi yang lebih ditopang dari luar, yang terjadi adalah gelembung ekonomi (bubble economy) dengan ekonomi rakyat makin terpinggirkan serta industri yang mengelola sumber daya alam makin dikuasai asing serta ekologi pun pada gilirannya makin rusak karena sifatnya growth oriented yang berpusat di pasar-pasar negara asing (dalam hal ACFTA terutama di China, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang umumnya industri mereka relatif lebih kuat). Dengan begitu, tema kemandirian ekonomi dan industri yang lebih rasional ini, kiranya dapat menjadi visi bersama antara negara, dunia usaha, dan civil society dalam rangka mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan, terutama dalam menghadapi ACFTA. Semoga....

Oleh Didin S Damanhuri Guru Besar FEM IPB, Pengajar STEI Tazkia
http://www.mediaindonesia.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "ACFTA, Program Darurat dan Strategi Baru Industrialisasi"

Posting Komentar

Beri komentar pada blog ini