Dampak Lingkungan Pasca-ACFTA

08 Maret 2010

  • Oleh Sudharto P Hadi
China memang bukan Amerika Serikat tetapi kalau dipertarungkan dengan Indonesia keunggulan kompetitifnya lebih digdaya dari Amerika

PERDAGANGAN bebas ASEAN-China baru diberlakukan tanggal 1 Januari lalu namun dampaknya sudah kita rasakan. Makin hari makin banyak buah-buahan impor asal China membanjiri sudut-sudut kota dengan harga yang murah. Demikian juga produk mainan anak-anak.

Jauh sebelum perdagangan bebas diberlakukan, sepeda motor dan barang-barang eletroknik produk China sudah meramaikan pasaran dan menjadi alternatif pilihan di antara produk Jepang dan Korea Selatan.

Respons pun bermunculan. Ada yang meminta pemerintah bersikap tegas dengan menyeleksi produk-produk yang bisa masuk ke Indonesia.

Ada pula yang bahkan meminta untuk meninjau ulang perjanjian perdagangan bebas itu. Bagaimanakah dampaknya pada lingkungan hidup yang kondisinya memprihatinkan?

Liberalisasi perdagangan merupakan bagian dari globalisasi. Ia menjadi instrumen utama dalam mengglobalkan dunia yang penuh keragaman ini Ia menjadi sarana McDonald-isasi, waralaba yang menjadi simbol globalisasi, karena makanan cepat sajinya bercita rasa sama di manapun kita mendapatkannya.

Liberalisasi mempersyaratkan adanya keterbukaan, kebebasan, tanpa proteksi, dan subsidi. Liberalisasi pada mulanya dicetuskan melalui general agreement on tariff and trade (GATT) dengan objek barang-barang industri.

Tahun 1995, GATT menjadi World Trade Organization (WTO) yang mengatur sistem perdagangan dunia. Para pemrakarsa perdagangan bebas berargumen bahwa dengan dihapuskanya dinding tarif akan menciptakan kemakmuran negara-negara peserta.

Cara berpikir yang demikian ini rupanya diilhami oleh ajaran Adam Smith dalam bukunya the Wealth of Nations bahwa kunci kemakmuran bangsa-bangsa terletak pada pembagian kerja (division of labour), produktivitas, dan pasar.

Division labour yang dimaksud adalah bahwa masing-masing negara seharusnya mengembangkan potensi ekonominya dan kemudian dipertukarkan di pasar dunia.

Cara berpikir yang demikian didasari oleh filosofi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi, yang senantiasa ingin memaksimalkan keuntungan. Aliran ekonomi neoklasik kemudian memperbarui konsep tersebut dengan menekankan perlunya mekanisme pasar terbuka dalam memaksimalkan sumber dalam masyarakat.

Perdagangan bebas memang merupakan instrumen dari paham neoliberalisme. Bersamaan dengan kebijakan tersebut biasanya diikuti dengan dorongan investasi asing, privatisasi, industri manufaktur berorientasi ekspor, dan penghapusan subsidi.

Dampak Buruk

Argumen proliberalisasi itu nampaknya masuk akal. Namun dalam praktiknya sering terjadi ketidakadilan. Pengalaman penerapan perdagangan bebas di Amerika Utara antara Kanada, Amerika Serikat (AS) dan Mexico yang dikenal dengan North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang telah dimulai sejak tahun 1990-an menunjukkan bahwa negara-negara yang posisinya lemah mengalami dampak buruk akibat liberalisasi perdagangan.

Arus tenaga kerja justru datang dari tenaga kerja terampil dan ahli dari Negeri Paman Sam dan bukan sebaliknya dari Mexico ke Amerika Serikat. Kanada yang di beberapa wilayahnya seperti Provinsi British Columbia memberlakukan pembatasan penangkapan ikan agar terjadi sustainable fishery, terpaksa harus mengubah kebijakannya karena dipandang sebagai penghambat liberalisasi perdagangan.

Pada awal perdagangan bebas akan diberlakukan, mereka yang menolak gagasan tersebut menulis buku berjudul If You Love Canada. Digambarkan oleh David Suzuki, seorang ilmuwan lingkungan bahwa global economics is driving us into this crazy situation (ekonomi global membawa kita pada situasi tidak menentu).

Dalam liberalisasi, ukuran kemajuan dilihat dari meningkatnya pendapatan, perdagangan dan arus barang-barang. Menurut David Suzuki, Kanada akan mengalami nasib seperti negara-negara dunia ketiga yang merusak hutan, sumber-sumber daya perikanan, tambang, pertanian demi mendapatkan uang tunai.

China memang bukan Amerika Serikat, tetapi kalau dipertarungkan dengan Indonesia keunggulan kompetitifnya lebih digdaya dari AS. Ia bukan hanya memiliki teknologi yang maju tetapi juga tenaga terampil, kreatif yang sekaligus murah karena jumlah penduduknya terbesar di dunia.

Tak pelak lagi, produk yang dihasilkan sangat kompetitif. Hampir tidak bisa dipercaya kalau jeruk santang yang kecil-kecil, jeruk mandarin, apel fujian harganya bersaing dengan jeruk medan, jeruk pontianak, dan apel malang.

Demikian juga barang-barang elektronik mulai radio, TV, VCD, kulkas, AC, sepeda motor sampai turbin pembangkit listrik berbagai jenis selalu menjadi alternatif pilihan dengan harga lebih murah.

Namun demikian pepatah rega nggawa rupa (harga identik dengan kualitas produk-Red) ternyata masih berlaku. Dari segi kualitas, produk China masih setingkat di bawah Korea dan Jepang dan tidak begitu ramah lingkungan.

Kebangkitan ekonomi China ditunjukkan dengan membeludaknya berbagai macam produk dan haus akan pasar. April 2008, diberitakan melalui internet bahwa di kereta api Jabodetabek dijajakan telur buatan China.

Bentuknya mirip dengan telur ayam broiler berwarna cokelat dengan harga hanya Rp 500 per butir. Padahal telur mentah saja di pasar harganya Rp 1.000 per butir. Telur China yang diduga buatan industri rumah tangga itu laris manis di kereta yang rata-rata penumpangnya masyarakat kelas bawah.

Seorang penumpang yang meneliti telur tersebut berkesimpulan bahwa telur tersebut bukan asli tetapi jenis makanan yang diproses secara kimiawi. Putih telurnya lebih keras, kuning telurnya tidak bulat, sekilas mirip adonan kue.

Heboh telur China ternyata juga menimpa Korea Selatan. Media Korea memberitakan proses pembuatan telur tiruan di China dan mengkawatirkan dampak buruk pada kesehatan.

Revolusi China tentu tidak akan berhenti dengan produk-produk berlimpah yang murah tetapi suatu ketika pasti akan sampai pada invasi industri. Masih segar dalam ingatan, Pemerintah Kabupaten Wonogiri berniat membangun kawasan industri China di Hutan Kethu.

Rencana itu mendapat penolakan dari berbagai pihak karena dikawatirkan merusak daerah tangkapan air yang memicu terjadinya banjir di sepanjang DAS Bengawan Solo.

Suatu ketika desakan invasi industri bukan tidak mungkin akan bisa powerful atas nama liberalisasi perdagangan. Terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2004 sebagai revisi UU Nomor 41 Tahun 1999 yang mengizinkan 13 perusahaan penambangan di hutan lindung menjadi bukti akan tingginya daya tawar investasi atas pelestarian lingkungan.

Kita memang tidak mungkin mengisolisasi diri di era globalisasi ini, namun harus hati-hati dan waspada agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan. (10)

— Sudharto P Hadi, guru besar, dosen manajemen lingkungan Universitas Diponegoro
http://suaramerdeka.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ghea Panggabean Cinta Jumputan

Ghea_Panggabean.jpg
sripo/arsep
Ghea Panggabean
Sriwijaya Post - Senin, 8 Maret 2010 09:26 WIB

MASYARAKAT pecinta busana di Indonesia bahkan manca negara tentunya sudah tidak asing dengan nama Ghea Panggabean, desainer kondang papan atas yang dilahirkan di Rotterdam, Belanda tahun 1956. Terlihat bersama rombongan 12 duta besar dan konsulat ke Pulau Kemarau dan Kampung Kapitan.

Ghea yang mengenakan blus jumputan Palembang warna uwung yang dipadukan dengan celana jeans biru dan sal yang juga jumputan berwarna merah marun terlihat kontras. Wanita berusia 54 tahun saat dibincangi Sriwijaya Post di atas kapal Putri Kembang Dadar menuturkan bahwa dirinya sangat mencintai kain khas Palembang terutama jumputan. Jumputan Palembang itu lah yang melambungkan namanya di industri fashion, baik di dalam maupun luar negeri. “Saya sangat mencintai Palembang. Saya mengawali karier dengan kain jumputan. Jumputan itu bisa digunakan juga saat santai,” kata Ghea dengan semangat, Sabtu (6/3).

Selesai sekolah fashion di London tahun 1979, Ghea memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Ia menemukan kain jumputan dalam bentuk sal di salah satu tempat penjualan barang antik di Bali. Rasa penasarannya untuk mencari tahu dari daerah mana kain jumputan, ia pun pergi ke museum tekstil. Ternyata kain itu dari Palembang. Maka ia pun ke Palembang dan mencari pengrajin dan dibuatlah desain dalam bentuk printing. Baginya, jumputan Palembang memiliki daya tarik tersendiri, terutama warna yang alamiah seperti marun, merah manggis, kunyit dan lainnya.

Bagi wanita berdarahkan Batak dan Belanda ini, kain khas Palembang seperti jumputan dan songket banyak mengilhami dan inspirasi karya-karyanya. Tahun 1987, ia mendapatkan penghargaan APAREL yang memperkenalkan jumputan.

Dalam setiap desain terbarunya, Ghea selalu menggunakan kain khas daerah ini dalam produk barunya. Saking cinta dia dengan Palembang, beberapa kali harus datang ke kota ini hanya untuk urusan pembuatan kain jumputan dengan pengrajin tenun. Namun, baru kali ini, ia melihat secara langsung keindahan Sungai Musi, Pulau Kemarau dan Kampung Kapitan.

Setelah 30 tahun berkarier, Ghea mengadakan fashion show di Griya Agung dihadapan para duta besar dan konsultan. Dia menghabiskan waktu 10 hari untuk membuat busana yang diperagakan Sabtu (6/3) malam lalu. Tak hanya itu saja, kecintaannya pada Kota Pempek, tidak hanya dituangkan lewat desain pakaian, tetapi juga pada produk pecah belah seperti teko, cangkir, piring dan tatakan bermotifkan kain jumputan.

“Produk ini saya persembahkan kepada daerah ini sebagai penghargaan atas apa yang saya dapatkan selama ini. Jumputan sangat berarti bagi hidup saya,” tutur Ghea.

“Saya sangat tertarik kalau ada pengrajin atau UKM untuk bekerja sama dengan saya. Seperti dengan Rumah Busana Tria dan Rumah Tenun,” tegasnya. (arsep p)


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Hadang Produk China, Buka Seluas-luasnya Produk Dalam Negeri

PASAR TANAH ABANG

Selasa, 9 Maret 2010
Pusat Grosir Blok A, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tetap akan dipertahankan sebagai pusat grosir tekstil, sebagaimana ciri khasnya sejak dulu. Serbuan produk China tidak bakal mampu menggeser ciri khas tersebut.
Hal itu dikemukakan General Manager Pusat Grosir Blok A, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rickson Eduard, kepada Suara Karya di ruang kerjanya, akhir pekan lalu. Untuk itu, pihak manajemen membuka seluas-luasnya bagi produk dalam negeri untuk dijual di sini. "Jadi, silakan saja bersaing. Kita juga bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah)," ujarnya.
Terkait dengan kerja sama China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang mengakibatkan munculnya serbuan produk-produk dari China, seharusnya yang diperketat di pelabuhannya. Pemerintah selaku regulator melalui badan pengawasan yang ada seharusnya bisa meredam serbuan itu. Sebab, kalau sudah sampai di pasar, tentunya sulit untuk mencegahnya.
Rickson mengemukakan, sesungguhnya yang sangat terpukul dengan adanya serbuan itu adalah produk elektronik dan komputer. "Harganya sangat jauh lebih murah," ujarnya.
Kalau tekstil, walau mutu dari China baik, tapi produk lokal masih bisa bersaing. Di Pusat Grosir Blok A sendiri, pihak manajemen pasar hanya sebatas mengimbau agar para pedagang mendahulukan produk dalam negeri.
Pasalnya, walau bagaimanapun, produk-produk China itu akan tetap masuk. Jadi, menurut dia, tetap akan sulit untuk mencegahnya. Apalagi, di pasar tersebut juga banyak berkeliaran para penyalur. Mereka berhubungan langsung dengan pedagang di pasar tersebut. Begitu terjadi transaksi, penyalur langsung bisa mengirim barang kepada pedagang, dan itu merupakan transaksi sah yang tidak mungkin dihalangi.
Meski tidak bisa dicegah, seharusnya pemerintah membuat kebijakan bahwa barang-barang yang masuk harus masih berupa bahan. "Kalau tekstil, ya tekstilnya, bukan sudah menjadi pakaian jadi," kata dia. Tujuannya agar para produsen masih bisa mempekerjakan karyawan membuat pakaian jadi dengan bahan baku dari China. Alhasil, para buruh pembuat pakaian tidak kehilangan pekerjaan.
Sejak Dulu

Sebenarnya, sebelum diberlakukan CAFTA, sudah banyak tekstil dari China yang masuk sejak dulu. Tapi, diakuinya, begitu ada kebijakan CAFTA, dari pantauan yang dilakukannya ada sekitar 30 persen kios di pasar itu menjual produk China. Padahal, ada sekitar 8.000 kios di Pusat Grosir Blok A. Artinya, ada sekitar 2.500 kios sudah mulai memperdagangkan produk Negeri Tirai Bambu.
Namun, upaya mempertahankan ciri khas Pusat Grosir Blok A itu akan terus dilakukan. Pasar itu akan terus mengutamakan menyerap produk-produk lokal untuk dijual di sini. Untuk itu, seperti dijelaskan Rickson, pihaknya telah bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM. Para pengusaha UKM diberi kemudahan untuk memperoleh kios. Mereka diberi diskon untuk mendapat kios, tapi dengan syarat produk yang dijual harus benar-benar kerajinan dari daerah. Misalnya, berbagai kain tenun, batik, dan sulaman dari daerah.
"Ke depan, kita juga menjajaki kerja sama dengan pemda-pemda, agar bisa menempatkan produk-produk kerajinannya dari pengusaha daerah masing-masing," tuturnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sendiri, kata dia, membantu dengan cara merazia produk-produk impor apabila ditemukan tidak berlabel resmi. Sebab, menurut Rickson, Pemprov DKI berkepentingan juga melestarikan dan mempertahankan pasar ini. Pasar ini sudah bukan sekadar sebagai tempat berjual beli saja, tapi sudah menjadi objek wisata belanja yang dikenal di mancanegara. "Pasar Tanah Abang kan sudah terkenal di mancanegara sejak dulu sebagai pusat grosir tekstil," ujarnya.
Selain Blok A, pusat grosir itu juga tengah mempersiapkan Blok B, yang merupakan bagian dari pengembangan Blok A. Jadi, nanti operasionalnya akan menjadi satu kesatuan. Di Blok B telah disiapkan sedikitnya 5.000 kios. Diceritakan Rickson, penataan di blok yang baru itu akan lebih rapi. Setiap lantai diatur untuk berjualan komoditas sejenis.
Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan (KUMKMP) DKI Jakarta, Ade Soeharsono, mengemukakan, dalam menghadapi era perdagangan bebas, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus lebih kreatif, khususnya dalam mengembangkan desain produknya. Sebab, setiap produk tidak hanya meningkatkan mutu saja, tapi juga harus selalu mampu menampilkan produk baru.
Persaingan yang ketat, menurutnya, juga menuntut para pelaku UMKM mampu menjamin distribusi yang cepat. Kondisi itu perlu dukungan regulasi dari pemerintah dalam hal, misalnya, perizinan, kepastian hukum, atau pemberlakuan bunga bank.
"Untuk itu, kami berupaya memudahkan perizinan kepada para pelaku UMKM seperti pembuatan SIUP (surat izin usaha perdagangan). Bahkan, ada yang kami berikan secara gratis," katanya. (Budi Seno)
http://www.suarakarya-online.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Apresiasi Seni, Kritik Seni dan Wawasan Seni

Oleh : Dr. Agus Priyatno, M.Sn.

Aprisiasi seni, kritik seni dan wawasan seni, istilah-istilah yang sering muncul dalam kajian akademis. Apakah yang dimaksud dengan setiap istilah itu? Kadang orang bertanya-tanya tentang pengertian setiap istilah itu.

Setiap istilah memiliki pengertian sendiri, apresiasi seni, kritik seni dan wawasan seni memiliki pengertian berbeda satu sama lain.

Intinya, apresiasi seni memahami dan menikmati karya seni; kritik seni adalah pemberian pendapat atau penilaian terhadap baik dan buruknya karya seni; wawasan seni adalah pemahaman terhadap wilayah cakupan seni.

Apresiasi Seni

Apresiasi senirupa merupakan proses memahami dan menikmati karya seni. Memahami dan menikmati karya dapat dilakukan oleh siapa saja, untuk dapat memahami dan menikmati karya seni berkualitas diperlukan pengetahuan terhadap bidang itu. Apresiasi seni menguraikan persoalan bagaimana menikmati, menginterpretasi dan memahami karya seni berdasarkan kajian disiplin seni.

Mengapresiasi karya seni dapat dilakukan melalui bebarapa cara, diantaranya melalui analisis terhadap teknik, ide dan kreativitasnya. Pemahaman holistik terhadap karya seni dapat dilakukan melalui pendekatan subjektif dan objektif. Selain itu konteks sosial, budaya, agama, bahkan ekonomi dan politik yang melingkupi terciptanya karya seni juga merupakan faktor penting dalam mengapresiasi karya seni.

Mengapresiasi keindahan karya seni dapat bersifat personal, komunal, maupun universal. Keindahan bagi setiap orang dapat berbeda-beda ketika dipahami secara personal. Keindahan juga dapat berbeda-beda menurut komunitas, namun ada juga keindahan bersifat universal yaitu keindahan berlaku untuk semua orang.

Dalam apresiasi seni, pandangan terhadap estetika seni kadangkala tidak bersifat absolut. Pandangan terhadap estetika seni setiap zaman bahkan bisa berubah, karya seni yang dianggap indah pada suatu zaman bisa dianggap tidak indah pada zaman yang lain. Pandangan terhadap estetika seni juga dapat berbeda di antara komunitas yang berbeda wilayah, yang indah bagi komunitas di wilayah tertentu belum tentu indah bagi komunitas di wilayah lainnya. Pandangan terhadap estetika seni, juga bisa berbeda pada satu kelompok masyarakat yang berbeda ideologinya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pandangan terhadap estetika seni. Mengapresiasi karya seni dengan baik, dapat dilakukan dengan memperluas cakrawala pengetahuan kita tentang bidang ini, serta bidang-bidang pendukungnya.

Kritik Seni

Kritik seni, pemberian pendapat secara tertulis atau lisan tentang baik dan buruknya karya seni atau tentang salah atau benar karya seni. Kritik seni juga dipahami sebagai pemberian penilaian terhadap sesuatu karya seni atau suatau ulasan karya seni.

Secara umum dapatk diartikan, kritik seni merupakan penyampaian pendapat tentang karya seni. Kritik seni menguraikan persoalan-persoalan seni dalam kaitannya dengan korelasi antara seniman, karya seni dan publik seni. Kritik seni ada beberapa klasifikasi, yaitu kritik seni jurnalistik, kritik seni pedagogik, kritik seni populer, dan kritik seni ilmiah atau akademik.

Kritik seni yang baik membutuhkan perangkat tertentu. Kritik seni memerlukan teori seni dan wawasan seni. Perangkat lainnya adalah memiliki pemahaman tentang teori kebudayaan, sejarah seni, estetika, filsafat, memiliki pengetahuan umum dan kemampuan berbahasa yang baik. Mengerti tata bahasa dan mengerti diksi bahasa Indonesia serta mampu menguraikan masalah secara fokus, efektif dan efisien, tanpa redundansi.

Selain perangkat, juga ada etika dalam kritik seni. Kritik disampaikan dengan bahasa sopan dan tidak merendahkan martabat orang lain serta tidak mempetentangkan persoalan suku, ras dan agama. Kritik seni juga tidak sekedar menyampaikan salah benar atau baik dan buruknya karya seni tetapi juga memuat saran atau solusi

Kritik seni gunanya untuk meningkatkan kualitas karya seni menjadi lebih baik di kemudian hari. Kritik seni juga bertujuan untuk mengklasifikasikan kualitas karya seni. Kegunaan lain dari kritik seni, mendorong diciptakannya karya seni, memperluas pemahaman terhadap karya seni dan mengeliminasi karya seni vulgar, amoral, asusila, dangkal, dan menyesatkan.

Wawasan Seni

Wawasan seni adalah pemahaman tentang cakupan seni. Wawasan seni juga membahas tentang pendefinisan seni, pengklasifikasian cabang-cabang seni, tujuan karya seni diciptakan, perkembangan corak seni, dan bagaimana seni berkembang berdasarkan geografis, kultural serta ideologinya. Wawasan seni juga melihat seni dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan agama.

Definisi seni secara substansial adalah karya manusia yang indah. Jadi kalau bukan karya manusia meskipun indah, didalamnya terdapat unsur-unsur seni, tidak dapat dikatakan sebagai karya seni. Lukisan abstrak karya seekor kera yang dilatih tentu tidak bisa disamakan dengan lukisan abstrak karya seniman yang dikerjakan atas dasar pertimbangan estetika. Batu karang indah dari laut memiliki unsur-unsur seni, tapi dia bukan karya seni. Definisi dan paradigma seni juga berubah dari waktu ke waktu, hal-hal semacam ini juga persoalan wawasan seni.

Cabang-cabang seni dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Cabang-cabang seni meliputi aspek-aspek yang dapat dikategorikan sebagai karya seni. Apakah karya seni yang termasuk dalam kategori visual, audio, kinetikal, tekstual, teatrikal. Karya seni dalam kategori visual meliputi lukisan, patung dan arsitektur.

Karya seni kategori audio adalah seni musik. Karya seni dalam kategori kinetikal adalah tarian. Karya seni kategori tekstual adalah tulisan sastra. Karya seni kategori teatrikal adalah drama dan pertunjukan panggung lainnya.

Setiap kategori seni memiliki cabang-cabangnya lagi. Senilukis diidentifikasi dan diklasifikasikan lagi berdasarkan diferensiasinya. Lukisan dikategorikan dalam representasional dan abstrak atau tradisional dan modern. Demikian pula dengan cabang-cabang seni lainnya. Perkembangan seni berdasarkan geografis, kultural dan ideologis membahas tentang bagaimana seni berkembang dari waktu ke waktu di berbagai wilayah geografis, kultural, dan ideologinya.

Seni memiliki dimensi ekonomi artinya seni memiliki konteks dengan persoalan ekonomi. Lukisan tidak hanya menjadi pajangan apresiasi tetapi juga menjadi komoditas dagang yang menghasilkan keuntungan finansial. Di sini terlibat balai lelang, pedagang dan kolektor atau pembeli.

Seni memiliki dimensi politik artinya ada relvansinya dengan persoalan politik. Lukisan Liberty Leading The People adalah lukisan tentang revolusi Prancis. Lukisan ini mengungkapkan tentang peristiwa revolusi yang mengubah kekuasaan dari monarki ke republik. Suatu karya seni, seperti karikatur yang menggambarkan perseteruan dua pemerintahan pernah menghebohkan beberapa waktu lalu.

Kepala negara Indonesia dikarikaturkan oleh seniman Australia secara tidak simpatik, demikian pula sebaliknya. Kartun itu sempat merenggangkan hubungan kedua negara.

Wawasan seni membuka lebar-lebar pemahaman orang tentang seni dengan segala dimensinya. Seni tidak sekedar masalah estetika tetapi juga masalah-masalah lain yang sangat kompleks sifatnya. Seni memiliki relevansi dengan hampir seluruh aspek kehidupan manusia.

Penulis: dosen Seni Rupa FBS Unimed.
http://www.analisadaily.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Digelar Pameran Seni Kriya di Taman Budaya Riau

Selasa, 16 Pebruari 2010 17:16
Sebuah pameran seni kriya digelar di Taman Budaya Provinsi Riau. Kegiatan yang akan berlangsung tiga hari tersebut menarik dijadikan agenda kegiatan pribadi dan keluarga.

Riauterkini-PEKANBARU- Bertempat di Gedung Olahseni Taman Budaya Provinsi Riau digelar Pameran Seni Kriya. Kegiatan yang menjadi pembuka dari 34 agenda yang dimiliki Taman Budaya Riau sepanjang 2010 tersebut permbukannya dilakukan istri Wakil Gubernur Riau Maulida Mambang Mit yang merupakan Wakil Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Riau, Selasa (16/2/10). Dijadwalkan pameran berlangsung hingga 19 Februari mendatang.

Dalam pameran yang menampilkan berbagai hasil kreasi seni kriya tersebut tak sekedar diikuti peserta dari Riau, tapi juga turut ambil bagian Jurusan Seni Kriya Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat. Sementara peserta domestik terdiri dari Dekranasda Riau, SMKN 4 Pekanbaru dan sejumlah sekolah, baik SMP maupun SMA di Pekanbaru.

Peresmian pembukaan pameran tersebut ditandai dengan pemotong pita oleh Maulida didampigi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau Joni Irwan, Kepala Taman Budaya Riau OK Pulsamitra dan Ketua Jurusan ISI Padang Panjang Purwono Prihatin. Sebelumnya, seremoni pembukaanya diisi dengan penyampaian kata sambutan oleh OK Pulsamitra, Purwono Prihatin dan Maulida Mambang Mit.

Setelah pemotongna pita, dilanjutkan dengan peninjauan stand. Ratusan item hasil senin kriya dipajang untuk dinikmati nilai estetikanya. Maulida yang didampingi Joni Irwan dan Purwono nampak sangat menikmati benda-benda seni kriya yang ambil bagian dalam pameran tersebut.

Ada miniatur kapal dari kayu, ada ukiran kayu untuk hiasan dindin, ada patung perunggu, keramik dan media lainnya yang dibentuk berbagai rupa. Jumlah item hasil seni kriya yang dipamerkan mencapai ratusan.

“Ini sangat menarik, dan diharapkan bisa menjadi pembangkit semangat bagi generasi muda untuk lebih mengenal dan menggeluti seni kriya,” puji Maulida di sela-sela peninjauan.

Komentar Maulida tak berlebihan. Pameran seni kriya kali ini memang menarik untuk dijadikan salah satu agenda kegiatan, baik pribadi maupun kolektif. Terlebih pameran terbuka untuk umum dan tanpa dipungut biaya alias gratis.***(mad)
http://www.riauterkini.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Butuh Sinergi Komunitas Hobi dan Minat

06 Maret 2010, 22:40:17| Laporan Khusnina Sekar Segari
suarasurabaya.net| Seniman tradisonal tidak lagi bisa sendirian lestarikan warisan budaya bangsa. Demikian kata FREDDY HANDOKO ISTANTO Vice Chairman Surabaya Heritage pada RULLY ANWAR Reporter Suara Surabaya, Sabtu (6/3).

Pelestarian seni tradisi, menurut FREDDY perlu sinergi yang melibatkan banyak komunitas, diantaranya berlatar belakang hobi dan minat yang beragam.

Kata FREDDY, dengan sinergi ini banyak orang yang kembali menggemari seni tradisi. “Seniman tradisi juga perlu jemput bola kenalkan karya dan keunikan budaya lokal pada khalayak lebih luas. Mereka diminta tidak lagi terpaku hanya pentas di kandang sendiri,” ujarnya.

FREDDY juga mengatakan, terobosan dalam soal materi dan bentuk penyajian juga perlu dicari supaya seni tradisi lebih dinamis, tidak malah terkubur oleh masa lalu. (rully/ks)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Seni Budaya Masih Termarginalkan

Rabu, 24 Februari 2010
BUNGUR,(GM)-
Pendidikan seni dan budaya di Jawa Barat hingga kini masih termarginalkan, padahal sangat penting untuk pembentukan karakter manusia Indonesia.

"Sekarang banyak manusia Indonesia yang lebih mengedepankan karakter bangsa asing daripada bangsanya sendiri," ungkap dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Drs. Ramlan, M.Sn. kepada wartawan, usai seminar dan workshop pendidikan seni budaya di Bale Kambang Bandung, Selasa (23/2).

Menurut Ramlan, pemerintah lebih menitikberatkan pada pendidikan umum yang capaiannya prestasi, seperti pelajaran yang di-ujiannasional-kan. Sementara pendidikan seni dan budaya menjadi pendidikan nomor sekian. Akibatnya, generasi muda kehilangan karakter bangsa.

"Kecenderungan pada pendidikan umum ini ketika pelajaran seni dan budaya ini harus dihentikan dan diganti dengan pelajaran umum, terutama pelajaran yang berkaitan dengan UN," paparnya.

Ramlan khawatir kalau hal ini tidak segera diantisipasi, ke depan generasi muda tidak tahu seni budaya mereka sendiri dan kehilangan karakter bangsanya. Karena itu, Ramlan pun meminta ada keseimbangan antara pendidikan seni dan budaya dengan pendidikan umum.

"Selama ini saya lihat tidak ada keseimbangan antara pendidikan seni dan budaya dengan pendidikan umum di sekolah-sekolah," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, sebaiknya jam mata pelajaran pendidikan seni dan budaya ditambah. Selama ini, katanya, jam mata pelajaran pendidikan seni budaya yang hanya dua jam (2 x 45 menit) untuk empat bidang, yakni seni tari, lukis, teater, dan musik dirasa tidak cukup.

"Harusnya pelajaran seni dan budaya diberi porsi yang sama, yakni apabila pendidikan umum, terutama bahasa Inggris, empat jam pelajaran, pendidikan seni pun harus empat jam pelajaran dalam seminggu," tambahnya.

Praktisi kesenian yang juga pendidik bidang kesenian, Rosikin W.K. menyatakan, sebaiknya Pemkot Bandung mewajibkan pendidikan seni dan budaya diajarkan di sekolah, terutama sekolah negeri mulai dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah pertama (SMP). Selama ini, tambahnya, pendidikan seni dan budaya hanya diwajibkan dan dikembangkan di sekolah khusus.

"Ke depan seluruh sekolah, terutama sekolah negeri, wajib memasukkan pendidikan seni budaya sebagai pelajaran tersendiri dan bukan kegiatan ekstrakurikuler," ujarnya.

Selain itu, sumber daya manusia (SDM) guru di bidang seni budaya pun harus ditambah. Rasikin mencatat, dari sekitar 200.000 guru SD di Jabar, hanya 40% yang tahu tentang seni budaya dan dipaksakan mengajar seni budaya di sekolah.

"Padahal di Jabar ada sejumlah perguruan tinggi yang setiap tahun meluluskan sarjana berbasis pendidikan seni dan budaya," ujarnya.

Namun sayang, katanya, sedikit sekali SDM yang dihasilkan tersebut dimanfaatkan pemerintah menjadi tenaga guru. "Hal ini karena minimnya kesempatan yang dibuka pemerintah," ujarnya. (B.81)**
http://www.klik-galamedia.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kenapa Orang Indonesia Tak Tertarik Membatik?

Jumat, 5 Maret 2010 | 18:21 WIB
PURI YUANITA
Erick Maxi Wenas, pimpinan sanggar seni batik Jawa Jawi Java yang berada di bilangan Jakarta Selatan. Erick turut mendukung acara pembukaan Kampoeng Batik dengan mendemokan cara pembuatan batik tulis di Plaza Atrium Segitiga Senen Jakarta, Jumat (5/3/2010) ini.
KOMPAS.com — ”Kenapa orang Indonesia tak tertarik membatik?” Itulah kalimat pertama yang kerap kali dilontarkan oleh siswa-siswi asing sanggar Jawa Jawi Java, sebuah sanggar seni batik yang ada di bilangan Jakarta Selatan.

Diungkapkan Erick Maxi Wenas, pimpinan sanggar Jawa Jawi Java, sejak didirikan satu tahun lalu, sanggar seni batik yang dipimpinnya memang lebih didominasi oleh siswa-siswi yang datang dari kalangan ekspatriat. Sementara siswa-siswi asal Indonesia jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Yang sangat disayangkan, kerap kali siswa-siswi bule sanggar tersebut bertanya tentang hal itu. ”Siswa-siswi sanggar batik lebih banyak orang asing, contohnya dari Australia, Selandia Baru, Jerman, dan Rusia. Orang Indonesianya sendiri hampir tidak ada. Itu pertanyaan yang biasanya mereka tanyakan waktu baru-baru datang belajar di sanggar,” kata Erick saat ditemui dalam acara pembukaan Kampoeng Batik di Plaza Atrium Segitiga Senen Jakarta, Jumat (5/3/2010).

Erick mengaku, dirinya juga sangat menyayangkan hal tersebut. Menurut dia, minat belajar masyarakat Indonesia terhadap seni pembuatan batik, terutama batik tulis, memang masih sangat kurang. Padahal, ungkap dia, banyak orang asing berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk belajar seni membatik.

”Di sanggar kami saja, banyak sekali orang asing yang datang karena memang serius ingin belajar membatik. Mulai dari anak-anak, mahasiswa, sampai orang tua. Bahkan, waktu itu ada mahasiswa asing, dari Jerman kalau tidak salah, yang sengaja belajar di sanggar kami sekaligus melakukan penelitian tentang batik untuk tugas akhir kampusnya,” ujar Erick.

Ditambahkan Erick, rata-rata orang asing tertarik untuk mempelajari seni batik justru karena kerumitan dan keunikan detail motif serta cara pembuatannya. ”Mereka mau belajar justru karena penasaran dengan kerumitan dan keunikan motif serta cara pembuatannya. Mereka awalnya kesulitan, tapi biasanya setelah sudah bisa mereka ketagihan untuk membuat lagi dan lagi,” katanya.

Untuk diketahui, sanggar Jawa Jawi Java pimpinan Erick saat ini telah menampung puluhan siswa-siswi asing untuk belajar membatik. Tak hanya sukses memperkenalkan batik di kalangan ekspatriat di Indonesia, sanggar itu pun telah berhasil membawa nama batik tulis Indonesia hingga ke kancah internasional. Salah satu buktinya, tahun ini sanggar Jawa Jawi Java akan menggelar pameran batik di negeri kincir angin Belanda.
http://megapolitan.kompas.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Talenta Seni Legislator Artis Jangan Dikebiri...

Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liauw
Rabu, 24 Februari 2010 | 07:59 WIB
Hindra Liu

JAKARTA, KOMPAS.com — Belakangan ini, ada semacam dorongan publik agar para anggota legislatif dari kalangan artis meninggalkan panggung selebriti yang gemerlap. Kegiatan mereka di panggung selebriti dinilai dapat menghambat kinerja mereka dalam memperjuangkan nasib rakyat yang telah memberikan amanat. Lantas, bagaimana tanggapan mereka?

Tiga legislator selebriti, anggota Komisi I Tantowi Yahya, anggota Komisi VIII Ingrid Maria Palupi Kansil, dan anggota Komisi X Venna Melinda, kepada Kompas.com, Selasa (23/2/2010), mengatakan tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat di atas.

"Talenta adalah anugerah Tuhan. Talenta tidak sepatutnya dikebiri," ujar Ingrid, yang membidangi urusan agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan di Parlemen. Ditambahkan perempuan yang berprofesi sebagai model ini, sepanjang legislator selebriti tetap mampu menunaikan tugasnya, seperti menyuarakan aspirasi rakyat, menyapa konstituen, dan menentukan skala prioritas, berkegiatan seni sah-sah saja.

Tantowi, salah satu master of ceremony ulung Indonesia, menegaskan, kegiatan dunia keartisan bukanlah hal yang haram dan hina. Menurut dia, dunia keartisan tetap memerlukan bakat dan perjuangan hingga para artis mendapat tempat di hati rakyat. Kegiatan manggung, seperti menyanyi, sepanjang dilakukan pada hari libur, Sabtu dan Minggu, adalah sah.

"Bagi saya, menyanyi bukan sekadar mencari nafkah, tetapi bentuk eskpresi dan aktualisasi diri. Apa bedanya berkegiatan manggung pada Sabtu-Minggu dengan para anggota Dewan yang bermain golf pada Sabtu-Minggu? Jadi, tolong dicatat. Tidak ada yang hina, semuanya positif," tegas Tantowi.

Hanya saja, Tantowi mengingatkan agar para legislator selebriti yang tampil di televisi pada Sabtu-Minggu tetap menjaga citra dirinya sebagai anggota Dewan dan juga citra parlemen. Penyuka lagu country ini mengkritik legislator parlemen yang tampil di televisi dengan skenario kata-kata yang kurang santun.

"Juga jangan ada (adegan) ngebanyol dengan kepala (legislator selebriti) dijorok-jorokin, ditendang, dan lainnya. Biar bagaimanapun, citra anggota Dewan melekat pada dirinya," tambahnya.

Hal senada disampaikan Venna, artis yang belakangan dikenal sebagai instruktur tari salsa dan aerobik. "Sepanjang yang bersangkutan tetap menjalankan fungsi kedewanannya, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, tidak apa-apa," tegasnya.

Ke depannya, baik Ingrid, Tantowi, dan Venna tetap menjalankan kegiatan kenon-dewan-annya mereka. Meski demikian, ketiga wakil rakyat ini mengaku memiliki rem sendiri agar tidak kebablasan.

Ingrid, yang saat ini masih terikat dengan kontrak sebuah perusahaan model, tetap melakukan pemotretan pada hari libur. Tantowi, yang sehari-hari berurusan dengan isu pertahanan, luar negeri, dan informasi di DPR, tetap menerima tawaran menjadi juri kontes pencarian bakat yang disiarkan sebuah stasiun televisi swasta pada Maret mendatang.

Kegiatan shooting, lanjutnya, akan berlangsung di luar jam kerjanya. "Tujuannya, saya ingin tetap me-maintain awareness masyarakat terhadap saya. Saya juga tidak mau (popularitas saya) hilang. Popularitas ini aset yang berharga di masa mendatang. Siapa yang tidak ingin terkenal?" ujar Tantowi.

Venna juga mengatakan tidak akan sepenuhnya berhenti dari dunia aerobik. Pasalnya, apa yang dilakukannya sejalan dengan urusan yang dibidanginya di parlemen, yaitu pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.

http://nasional.kompas.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Diperbanyak, Even Seni dan Budaya

Sabtu, 06 Maret 2010
BARANANGSIANG,(GM)-
Pemerintah berupaya memperbanyak even kesenian dan kebudayaan, termasuk bahasa. Hal itu dimaksudkan menumbuhkan perhatian dan keterlibatan masyarakat dalam pemuliaan bahasa, seni, dan budaya. Demikian diungkapkan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan pada pembukaan Festival Drama Basa Sunda (FDBS) XI Tahun 2010 di Gedung Kesenian (GK) Rumentangsiang, Jln. Baranangsiang Bandung, Selasa (2/3).

Gubernur mengakui, penyelenggaraan FDBS XI tahun ini memberikan kebanggaan tersendiri. Selain diikuti 79 grup dari 13 kabupaten/kota di Jabar, penyelenggaraan FDBS tahun ini untuk memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang bahasa Sunda kepada generasi muda. "Tentunya saya bangga, ternyata penyelenggaraan FDBS ini tidak pernah terhenti walaupun tidak mendapat bantuan materiil dari pemerintah," ujarnya.

Karena itu, lanjutnya, salah satu upaya perhatian pemerintah yakni memperbanyak penyelenggaraan festival atau sejenisnya. Dikatakan, pemerintah tidak akan memberikan bantuan secara langsung kepada komunitas maupun grup kesenian tertentu. "Tetapi pemerintah akan memperbanyak penyelenggaraan festival atau sejenisnya. Kalau memberikan bantuan secara langsung, dikhawatirkan akan membunuh kreativitas masyarakat maupun seniman," paparnya.

Gubernur pun meminta Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar, Herdiwan untuk menyusun program penyelenggaraan festival dan sejenisnya.

Pada kesempatan itu, Gubernur pun meminta segera dibentuk Badan Pengembangan Bahasa Daerah (BPBD). Hal itu dimaksudkan agar kosakata bahasa Sunda semakin bertambah dan kaya. "Dengan adanya BPBD, banyak kosakata bahasa Indonesia yang bisa dialihkan menjadi bahasa Sunda, sehingga bahasa Sunda semakin kaya," ujarnya.

Ketua Umum Teater Sunda Kiwari (TSK) Bandung, Daddy P. Danusubrata mengatakan, penyelenggaraan FDBS XI Tahun 2010 terbilang sangat istimewa. Pasalnya, sejak diselenggarakan 20 tahun lalu, baru kali ini pembukaan dilakukan Gubernur Jabar. "Tentunya hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi penyelenggara dan para peserta," tandasnya.

Sedangkan Wakil Ketua DPRD Jabar, Uu Rukmana mengungkapkan, keistimewaan penyelenggaraan FDBS kali ini karena naskah dramanya merupakan hasil sayembara mengarang naskah drama Sunda. Menurutnya, tidak kurang dari 16 peserta mengikuti sayembara mengarang naskah drama bahasa Sunda.

"Karena itu, tidak salah jika saya menyebutkan penyelenggaraan FDBS dan sayembara naskah drama bahasa Sunda ini merupakan kekayaan masyarakat Sunda," ujarnya. (B.81)**
http://www.klik-galamedia.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Yuk Bikin Keramik...

Minggu, 7 Maret 2010 | 12:22 WIB
Icha rastika
Salah satu hasil seni rupa yang dipamerkan di museum seni rupa dan keramik Jakarta

JAKARTA, KOMPAS.com - Ingin mencoba membuat keramik? Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, tidak hanya memamerkan karya seni rupa dan keramik tempo dulu namun juga memberi kesempatan pengunjung untuk membuat keramik di sana.

Terlihat saat jelajah kota tua, Minggu (7/3/2010) beberapa orang remaja berkreasi dengan tanah liat di tangannya. Salah satu dari mereka berhasil membuat sebuah mangkuk keramik kecil.

Menurut keterangan petugas museum, belajar membuat keramik di museum seni rupa dan keramik dikenai biaya Rp 20.000 per orang untuk yang datang bersama rombongan yang lebih dari 20 orang. Jika anda tidak berombongan, maka dikenakan biaya Rp 25.000 untuk mendapat bahan percobaan.

Selain mendapat bahan tanah liat, seorang guru pembuat keramik akan mengarahkan pengunjuk yang ingin belajar membuat keramik. Selain itu, menurut petugas museum, pengunjung dapat membawa pulang keramik buatan tangannya tersebut. Jika tak berniat mencoba membuat keramik, pengunjung hanya dikenakan harga tiket Rp 1.000.

Bangunan Museum seni rupa dan keramik yang berada di kawasan wisata kota tua itu berdiri sejak 1870. "Bangunan ini awalnya kantor pengadilan. Beralih fungsi jadi asrama tentara buatan Belanda, KNIL, lalu jadi kantor walikota, dan akhirnya dialihfungsikan jadi museum oleh gubernur DKI Ali Sadikin," kata seorang pemandu jelajah kota tua, Ega, di museum keramik dan seni rupa Jakarta, Minggu.

Terlihat di lantai dasar museum seni rupa dan keramik, ratusan keramik tanah liat tempo dulu terpampang di dalam lemari kaca. Sedangkan di dinding museum dipamerkan lukisan-lukisan karya seni pelukis terkenal tempo dulu seperti karya seniman Raden Saleh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

"Facebook", Lautan Tanda dan Upaya Memaknainya

Senin, 8 Mar 2010 12:48:12

KINI, facebook menjadi produk budaya paling eksotik, untuk diperbincangkan ataupun "diacak‑acak" atas keberadaannya yang menjadi magnet komunikasi atas jutaan manusia di dunia dengan berbagai dampaknya. Ketika fakta menyodorkan sisi negatif facebook, keberadaan jejaring sosial yang mulanya berakar dari lingkup kampus kesohor di AS, Harvard ini nyaris ditempatkan sebagai medium yang wajib dihindari. Padahal sebagai teknologi, atau pula dalam kapasitas sebagai produk budaya yang bak lautan tanda dan simbolika, facebook juga tak semata "terdakwa" atas serangkai penyalahgunaan yang layak dihujat. Bagaimana menempatkan facebook dalam konstelasi makna yang positif dan berdayaguna, berikut perbincangan Bernas Jogja dengan dosen jurusan desain visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Jogja, Sumbo Tinarbuko yang mengangkat facebook dalam berbagai kajian dan telaah.

Selain dampak negatif yang tersodor dari facebook yang ramai diberitakan akhir‑akhir ini, bagaimana melihatnya secara proporsional?

Di mana‑mana, respons atas sebuah hal pasti bagai dua sisi mata uang, ada sisi negatif dan positif. Bisa dilihat dari dua sisi itu. Sebagaimana juga fenomana facebook (fesbuk), tergantung bagaimana melihatnya. Meski sebagai sebuah fenomena yang mengikat demikian besar minat masal untuk mengaksesnya tak bisa dikesampingan begitu saja.

Sebagai sebuah produk budaya kreatif, sang kreator Zuckerberg awalnya menciptakan facebook dalam konteks jejaring komunikasi kampus yang melibatkan interaksi intelektual. Kenapa kini bisa menjadi bergeser, dan terkadang justru dinilai nirmakna?

Teknologi tidak bisa dibendung. Termasuk teknologi kreatif, apalagi bila itu demikian mudah untuk diakses, siapapun dari berbagai kalangan. Sebagai sebuah ruang terbuka, nyaris tak ada prasyarat untuk memasukinya. Ibaratnya facebook itu lahir sebagai bagian dari teknologi yang mampu menyederhakan sesuatu yang rumit. Yang bergerak dan menular, nyaris tanpa harus dipelajari secara khusus, dan malahan lebih ditularkan, dalam istilah saya, dari "conthong" ke "conthong". Orang tidak harus menguasai teknologi tertentu untuk bisa menguasainya. Memang akan berbeda lagi bila melihatnya sebagai sebuah produk kreatif, dalam artian mendayagunakannya sebagai medium yang optimal, tidak sekadar sebagai ruang "curhat' atau bahkan memaki orang dengan tidak jelas. Itu yang saya singgung di buku saya "Mendengarkan Dinding Fesbuker".

Apa yang Anda utarakan dalam buku tersebut?

Sebetulnya buku itu lebih sebagai bentuk inventarisasi pola‑pola perilaku fesbuker dilihat dari komentar yang di‑share atau diistilahkan status. Ada yang kemudian demikian mengentengkan fungsi fesbuk dengan menulis hal‑hal, yang ya bisa dikatakan sangat remeh‑temeh seperti misalnya "ngantuk", "lapar" dan sebagainya. Memang sah‑sah saja, tapi mbok iyao bisa menuliskannya dengan lebih baik dengan bahasa dan cara pengungkapan yang tidak asal‑asalan. Saya sebut pula bahwa facebook menjadi media pembentukan realita semu ketika seseorang bisa berpura-pura menjadi apa dan siapa yang berbeda dengan jati diri dia sesungguhnya dalam upaya pencitraan yang berbeda dari keseharian. Media ini seolah hablur bahkan kehilangan makna.

Bagaimana semestinya menyikapi facebook?

Agar teknologi yang memudahkan ini bisa hadir dengan memberikan makna, tidak mengecilkannya, meniadakannya, atau malah menjadikannya kontraproduktif ya mestinya menempatkannya secara proporsional. Melihat dan membaca status‑status yang asal-asalan terus terang cukup memprihatinkan dan malah mengarah pada hal‑hal yang kontraproduktif. Saya juga punya akun facebook, tapi saya memanfaatkannya untuk sharing hal‑hal yang perlu saja.

Tapi apakah dari hal yang sepintas remeh-temeh itu benar-benar tidak ada manfaatnya?

Memang pada akhirnya sebagai sebuah fenomena, "keremeh‑temehan" tetap bisa ditarik sebagai kajian yang malah mengangkatnya dalam analisis pemakanaan lebih lanjut, termasuk pula kehadirannya sebagai produk budaya, atau dalam ranah kerja saya sebagai produk desain visual, tak lepas dari pro‑kontra keberadaannya. Kajian tentang facebook, dilihat dari sisi budaya, antropologis, hingga sebagai bahan kajian desain visual cukup banyak. Memang walhasil medium yang kadung diidentikkan sebagai remeh‑temeh itu bisa menjadi ceruk kajian menarik, termasuk melihatnya dalam gelombang fenomena yang mampu mengikat jutaan massa dari berbagai belahan dunia. Buku "Mendengarkan Dinding Fesbuker" itu pun banyak digunakan sebagai referensi kajian oleh mahasiswa berbagai jenjang.

Lepas dari hal negatif, menjadi kekuatan yang luar biasa juga ya agaknya produk budaya dan teknologi yang Anda sebut ditularkan dari "conthong" ke "conthong" itu?

Ya itulah. Sayangnya sekali lagi, bangsa ini masih sebagai taraf konsumen. Lagi‑lagi terus‑terusan sebagai konsumen. Mestinya suatu saat dengan kemampuan mendayagunakan teknologi dan menempatkannya lebih sebagai produk yang positif, lautan simbol, tanda, karya kreatif juga produk budaya yang "migunani", bangsa ini bisa membuat hal serupa, yang bisa dimanfaatkan dengan baik.

Sebagaimana perlakuan atas produk teknologi dan budaya yang lain, dampak positif ataupun negatif yang didapat walhasil berpulang pada penggunannya. Begitu?

Saya rasa banyak hal yang bisa dikaji dari facebook, tergantung bagaimana menempatkan, melihatnya dan juga menyikapinya. Apakah akan menjadikannya medium yang bermanfaat atau tanpa makna, tergantung pula pada penggunanya. Sebetulnya, memang banyak yang bisa dilihat dari sebuah facebook, selain fenomena dan kehebohan yang ditimbulkannya. Misalnya dari segi desain visual saya tengah mempersiapkan sebuah kajian yang lebih serius daripada buku pertama saya tentang facebook yakni "Plesetan Parodi Ala Fesbuker Seniman". Selama ini seniman‑seniman di Jogja cukup banyak memanfaatkan facebook sebagai medium karya visual, seperti seniman Eddi Hara ataupun Heri Dono dalam ajang Biennale beberapa waktu lalu. Mereka menampilkan karya‑karya seni parodik dan plesetan via facebook itu yang hendak saya kaji. Para peneliti dan pengkaji budaya, semiotika, desain visual pun bisa memanfaatkannya untuk pemaknaan lebih lanjut. (hap)

http://www.bernas.co.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Dari Sampah Kulit Jagung Jadi Uang

Doni Martin
13/07/2009 07:34
Liputan6.com, Garut: Kreativitas tidaklah cukup tanpa kemauan. Seperti yang dilakukan Yayan, warga Desa Jati, Kecamatan Tarogong Kaler, Garut, Jawa Barat, belum lama ini. Di tangan bapak satu anak itu, sampah kulit jagung disulap jadi kerajinan bunga hias yang bisa mendatangkan rupiah.

Peralatannya sederhana. Sediakan gunting, pisau cutter, serta lem bakar. Selain kulit jagung, ada juga bahan penunjang yang dipakai. Antara lain stereofoam, ranting kering, dan buah pohon suren sebagai penghias.

Caranya juga tidak sulit. Kulit jagung yang sudah diberi warna sesuai keinginan digunting mengikuti pola. Potongan-potongan pola kemudian disatukan dengan steples dan digabungkan dengan kelopak bunga dari sterofoam. Jangan lupa menghiasnya dengan biji pohon suren untuk membentuk mahkota bunga yang utuh. Tertarik untuk mencoba?(AIS)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Meraup Rupiah dari Onderdil Bekas

Taufik Hidayat
Amin saat berkreasi dengan onderdil bekas.
02/01/2010 05:57
Liputan6.com, Bandung: Biasanya onderdil bekas kendaraan selalu berakhir di tempat pedagang besi tua atau di penampungan sampah. Tapi, di tangan Hamidan, seorang pengrajin di Bandung, Jawa Barat, onderdil bekas mampu disulap menjadi lampu hias yang cantik dan menarik serta mempunyai nilai jual tinggi.

Hasil kreasi Hamidan bisa dilihat kediamannya di Desa Bojong Sari, Kompleks Bumi Bakti Abadi, Bojong Soang, Kabupaten Bandung. Saking seriusnya, Kang Amin menyulap rumahnya menjadi workshop pembuatan lampu hias serta barang seni yang bahan bakunya berasal dari onderdil bekas. Pria asli Sunda ini memang terobsesi menjadikan onderdil bekas berbagai kendaraan, mulai dari onderdil mobil, motor, sepeda, hingga becak menjadi benda bernilai seni sekaligus bernilai jual.

Awalnya Kang Amin bekerja sendirian. Seiring banyaknya pencinta barang seni yang tertarik dengan karyanya, dia mempekerjakan dua tetangga untuk sekadar membantu di bengkelnya. Dalam berkreasi Kang Amin tidak menggunakan pola tertentu sehingga lampu hias atau barang seni yang diciptakan selalu berbeda.

Para pembeli yang umumnya orang luar negeri mengenal produk Kang Amin dari berbagai pameran yang kerap diikuti. Selain dari luar negeri, ada juga pembeli dari dalam negeri. Biasanya pecinta seni yang mencari produk Kang Amin memaklumi jika harganya cukup tinggi. Karya seni kadang memang tak bisa dinilai dengan uang.(ADO)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Mendaur Ulang Kaleng Menjadi Seni

Yon Daryono dan Bagus Pradana

09/03/2010 06:19
Liputan6.com, Magelang: Mendaur ulang kaleng yang sudah terbuang ternyata bisa menghasilkan karya seni bernilai tinggi. Hal itulah yang dilakukan Kusnodin, warga Dusun Pongangan, Salaman, Magelang, Jawa Tengah, menyulap limbah kaleng menjadi berbagai macam burung yang harganya mecapai puluhan jutaan rupiah.

Untuk membuat kerajinan burung dari kaleng bekas dibutuhkan kesabaran dan ketelitian. Pertama-tama, kaleng bekas dipotong-potong untuk kemudian dipelintir sehingga potongan kaleng membentuk uliran. Proses berikutnya kayu yang sudah dibentuk burung ditempeli uliran-uliran yang tampak mengkilap.

Dalam sehari Kusnodin bisa memproduksi antara 10-25 karya berbagai jenis burung. Ada burung merak, kutilang, dan elang yang dijual dengan harga Rp 115 ribu. Untuk pesanan khusus harganya mencapai Rp 26 juta. Pangsa pasar hasil produksinya telah menyebar diberbagai kota di Indonesia dan luar negeri.(ADO)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

HUT Kota Solo Diwarnai Kirab Boyong Kedaton

Rabu, 10 Februari 2010 | 22:30 WIB
google.com

SOLO, KOMPAS.com--Peringatan HUT ke-265 Kota Solo yang jatuh pada Rabu (17/2) akan diwarnai "Kirab Boyong Kedaton" diikuti sekitar 3.000 peserta lebih, melibatkan mahasiswa, pelajar dan warga kota ini.

"Kirab Boyong Kedaton ini merupakan refleksi yang menggambarkan kepindahan Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Solo sampai perkembangan pemerintahan sekarang ini," kata Sekda Pemerintah Kota Surakarta, Boeddy Soeharto, di Solo, Rabu.

Acara kirab ini telah dipersiapkan jauh hari, karena masuk dalam kalender event pariwisata di Solo, sehingga nantinya dalam penampilan tidak mengecewakan wisatawan yang menyaksikan, kata Ketua Panitia Kirab Boyong Kedaton, Bambang Suhendro.

"Jadi untuk Kirab Boyong Kedaton ini nanti tidak diikuti asal-asalan saja, tetapi semua yang ditampilkan harus mencerminkan prodak-prodak budaya yang ada di Keraton Surakarta dan sampai pemerintahan sekarang ini," katanya.

Karnaval ini nantinya juga akan menceritakan mengenai pindahan Keraton Kartasura Ke Solo yang dikemas dalam bentuk tari, sehingga tidak mengherankan jika banyak melibatkan peserta.

Peserta karnaval ini akan didukung sepenuhnya oleh Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dispora) Kota Surakarta dengan mengerahkan para pelajar dan sanggar-sanggar seni yang ada di Solo serta para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Produk-produk seni yang akan disertakan dalam karnaval tersebut di antaranya Gamelan Sekate, Gamelan Cara Balen, Gamelan Monggang, Gamelan Kodok Ngorek, Gamelan Slendro dan Pelok.

Gamelan yang disertakan dalam karnaval itu akan ditabuh secara bergantian sehingga suasana akan bertambah meriah. Setelah itu dikuti 100 penari bedoyo, serta 50 pasang pengantin lengkap dengan pakaiannya beserta perlengkapan lainnya.

Sesaji tari 80 orang, terbangan (santri suara ) 100 orang, terus diikuti wayang kulit, barisan penari topeng. Selain itu juga akan dikirab dari empat simbol utama yang ada di Keraton Kasunaan dengan menggunakan mobil.

Empat simbol utama Keraton Kasunanan itu yakni Gunungan Perempuan dan Laki-laki, Panggung Songgobuwono, simbol Mahkota Keraton, dan simbol Canting Raja Mala.

"Keempat simbol utama keraton nanti dalam karnaval akan kami keluarkan dengan membuat replikanya dan ini tidak bisa ditinggalkan yang kini sedang dikerjakan teman-teman dari ISI Surakarta," katanya.

Selain itu juga ditampilkan kereta kencana yang ditarik empat kuda dinaiki oleh permaisuri raja dan putri-putrinya dari Paku Buwono (PB) II, terus diikuti oleh pengageng keraton seperti Pangeran Mijil, Pangeran Buyut, Patih Pringgoloyo, Ki Buyut Kalipak Kiageng Solo, dan lain-lain.

Setelah itu terus diikuti barisan Paskibraka membawa bendera Merah Putih, barisan membawa dua logo Pemerintah Kota Surakarta, barisan mobil jeep yang dinaiki oleh Wali Kota Joko Widodo dan Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo, dibelakangnya diikuti barisan camat dan lurah.

Terakhir barisan musik kelompok 21 ditangani oleh I Wayan Sadre dosen ISI Surakarta dan mobil orkestra. Kirab itu nantinya direncanakan berangkat dari Kota Barat terus menuju Jalan Slamet Riyadi dan berakhir di halaman Balai Kota Surakarta.
http://oase.kompas.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

ACFTA, antara Wisnu dan Durga

09 Maret 2010

  • Oleh Imam Munadjat
PERDAGANGAN bebas, pasar bebas dan atau globalisasi ASEAN-China (melalui ACFTA) merupakan keniscayaan, ketika dunia sepakat untuk memberlakukan perdagangan tanpa sekat. Sebelum diberlakukan untuk seluruh dunia, China dan negara-negara ASEAN ”menjajal”-nya di tingkat ”regional” mulai awal tahun ini.

Sudah dua bulan lebih ACFTA berjalan dengan bermacam reaksi di kalangan masyarakat. Di Bali, perajin dupa (alat kelengkapan ibadah) mengeluh karena masuknya dupa dari China. Di Pasar Tanah Abang Jakarta ada sweeping kain produk China. Di Yogyakarta, pejabat Dinas Perdagangan mengisyaratkan agar masyarakat pedagang dan petani meningkatkan kualitas produknya agar dapat bersaing dengan produk-produk China, termasuk buah-buahan.

Sebuah stasiun televisi pada Januari lalu memberitakan, eksistensi industri kecil dupa di Bali terancam karena masuknya dupa dari China. Pangsa pasar industri itu bagi pengusaha di Bali cukup jelas, mapan, besar, dan kontinu, karena dupa merupakan kebutuhan dan bagian dari peribadatan sebagian besar masyarakat Bali. Satu indikator sederhananya, impor dupa China tidak mungkin dalam partai kecil. Karenanya, sangat mungkin pada saatnya nanti kebutuhan dupa di Bali akan terpenuhi oleh dupa impor. Jadilah usaha lokal tersisishkan karena dupa impor (seperti umumnya komoditas lain) lebih berkualitas, lebih murah, karena dengan pasar bebas, bebas pula bea masuk untuk komoditi tertentu ke negara lain.

Masa depan dupa di Bali dan geliat reaksi setempat merupakan titik kecil dari potret perekonomian Indonesia di era pasar bebas dan globalisasi. Tentu banyak lagi potret buram lain kini dan ke depan. Mungkin makin banyak gambaran ”dupa China di Bali” terkait dengan komoditas lain di tempat lain di Tanah Air. Pasar bebas tidak lebih sebagai pintu masuk upaya ”legalisasi penjajahan dan dapat masuknya dengan mudah dan murah” negara-negara besar yang sangat berkepentingan untuk ”memasarkan” hasil industrinya ke negara lain.

Prof Sri-Edi Swasono memperingatkan, pasar bebas dan globalisasi adalah tantangan sekaligus kesempatan. Globalisasi harus dihadapi. Kita harus ikut mendesainnya, namun bangsa ini harus kuat, kelembagaan ekonomi masyarakat juga harus tangguh, karena yang terjadi saat ini sarat dengan kepentingan ekonomi. Dengan cara apapun, dan beragam instrumen pendekatan dipergunakan untuk menggolkan tujuan dagangnya.

Kalau bangsa ini lemah, globalisasi ekonomi semakin berpotensi untuk memperlebar kesenjangan, bahkan polarisasi ekonomi. Kondisi yang terjadi kemudian adalah dependensi (kebergantungan), baik antarnegara maupun sesama anggota masyarakat. Hal itu bepotensi besar menjadi pintu masuk kolonialisasi, baik terhadap individu maupun negara. Memang sangat memprihatinkan, dengan globalisasi dan pasar bebas perekonomian bangsa ini telah menjadi liberal. Terkesan pemerintah terbawa arus dan menyerah pada neoliberalisme sebagai representasi kapitalisme dan imperialisme baru.
”Dupa Bali” mestinya menyadarkan, sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat kita tengah bergelut dalam percaturan budaya global. Kehidupan berbangsa tengah diuji.

Mestinya, untuk bisa berperan dalam globalisasi perdagangan, harus mempersiapkan diri, bukan hanya bereaksi ketika dampaknya sudah mulai terasakan bagi perdagangan dalam negeri. Karena globalisasi tidak dapat dihindari dan harus dihadapi, seharusnya kita aktif mempersiapkan diri, bukan reaktif dan menyalahkan orang lain.
Wisnu dan Durga Mengomentari perjalanan globalisasi dan pasar bebas ala Adam Smith, Prof Herman Soewardi mengemukakan, banyak yang kecele, karena teori Bapak Ilmu Ekonomi itu diharapkan melahirkan Wisnu (tokoh wayang berperangai baik yang bertugas antara lain memelihara keseimbangan alam), ternyata pasar bebasnya Smith yang diharapkan juga menjadi sang pengatur (the invisible hand) malah melahirkan Durga (Batari Durga adalah tokoh pewayangan yang menjadi idola bagi mereka yang suka mengambil jalan pintas).

Sementara Sri-Edi Swasono menyebut Smith sebagai pemimpi besar, karena pasar sempurna (yang diharapkan mampu mengatur pasar) sebagai syarat beroperasinya pasar bebas dengan baik, tidak pernah lahir sampai sekarang meskipun ”mimpi” itu telah lebih dari 250 tahun (Swasono, 2005). Kalau saja Adam Smith masih hidup dan menyaksikan apa yang terjadi sekarang, bisa jadi dia akan lebih kecele dan (mungkin) merasa sangat bersalah karena ternyata teorinya itu bakal menyengsarakan banyak orang di berbagi negara yang kalah bersaing dalam menghadapi globalisasi karena tidak mampu bersaing dalam pasar bebas.

Globalisasi sebagai suatu proses atau gejala mengglobal atau proses menjangkau dan merambat ke seluruh dunia, sebenarnya bukan hal baru berkaitan dengan bidang ekonomi. Ketika terjadi kolonialisasi Barat terhadap bangsa-bangsa Asia dan Afrika empat abad silam, globalisasi juga sudah terjadi, khususnya di bidang budaya. Gejala mendunianya budaya Barat ini bukan hanya diperkenalkan, tetapi juga dipaksakan kepada bangsa terjajah.

Pasar bebas dan globalisasi di zaman modern ini sebenarnya tidak berbeda dari era kolonialisasi itu. Kalau dahulu penjajahan dilakukan dengan pendudukan dan penundukan nyata terhadap suatu negara oleh negara lain ”yang merasa lebih perkasa”, maka kolonialisasi modern tidak perlu pendudukan fisik, tetapi akibatnya bisa jadi lebih parah, yang sejatinya adalah pemunculan kembali sistem ekonomi kapitalis (neoliberalisme).

Nafsu menjajah (baik model kuno maupun modern) yang sejatinya berintikan keserakahan akan selalu ada dan terjadi oleh negara-negara besar dan kuat yang ingin selalu mendominasi, mendikte bangsa-bangsa lain yang lebih kecil dan lemah. Semua itu dilakukan untuk menciptakan ketergantungan, bukan saling bergantung untuk membangun kebersamaan. Efek ekonomi global inilah, menurut Faisal Baasir (2004) menciptakan bentuk kompetisi ekonomi yang menggiring munculnya economized, sebuah dunia yang tidak ramah, tidak demokratis, dan tidak manusiawi demi memenuhi ambisi dan produktivitas yang lebih tinggi.

Untuk memenangkan penjajahan modern ini dipergunakan senjata canggih berupa penetrasi kesadaran umat manusia dengan beberapa instrumen pendekatan, seperti liberalisasi perdagangan dan investasi yang seolah-olah memberikan kesan persamaan kesempatan maupun hak, isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, isu lingkungan hidup, hak paten serta seabrek nilai dan jargon-jargon (yang terkesan) penuh pesan moral dan egaliter.

Semangat kapitalisme itu akan dirasa menjadi legal dan wajar ketika semuanya dikemas dengan berlindung dalam konsep moral berdasar kebebasan hak. Ketika kebebasan hak dijadikan topeng tindakan, sekalipun tidak mengindahkan kemampuan yang berbeda pada pihak lain yang bersaing, seakan-akan menjadi sesuatu yang ”halal-halal” saja dilakukan. Dupa Bali adalah gambaran awal bakal lahirnya persaingan bebas yang memaksa seseorang untuk hidup berekonomi yang dilaksanakan dengan bersaing untuk dapat bertahan hidup dan semata-mata meraih keuntungan ekonomi,meskipun harus mengabaikan nilai-nilai lain, termasuk nilai-nilai Ilahiyah maupun sosial.

Pada sisi inilah, menurut Iraj Toutounchian (2009), semangat dan prinsip dasar kapitalisme semakin kelihatan. Karena prinsip dasar kapitalisme menurutnya adalah mementingkan diri sendiri yang serasi dengan philosophy of individualism. Nilai dasar manusia dalam konsep kapitalis adalah tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah didapatkan dan dimilikinya, keserakahan yang tidak terkendali dan mementingkan diri sendiri. Ketiganya selalu berjalan bersamaan.

Dupa Bali adalah gambaran ekonomi persaingan dan perdagangan bebas yang mengajarkan ekonomi peperangan, free fight dengan pelaku homo economicus untuk memasuki kehidupan brekonomi dengan tensi tinggi. Gong perdagangan bebas ASEAN-China sudah ditabuh per 1 Januari. Hanya ada dua pilihan; hanyut atau melawan. Kalau mau hanyut, ikutlah tanpa melawan karena perlawanan hanya akan terjadi setengah hati. Melawan berarti ditantang untuk hidup, mencari jalan lain agar tetap eksis, dicambuk untuk mencari sistem ekonomi lain. Bukankah masih ada sistem ekonomi Islam (di samping sistem lain) yang memiliki visi, misi, dan filosofi yang berbeda. Sistem ini diharapkan akan menjadi sebuah peradaban dan menjadi besar pada masa depan, tentu ketika ada komunitas kecil yang memulai.(10)

— Drs H Imam Munadjat, SH, MS, staf pengajar Unissula Semarang, mahasiswa S3 Program Studi Ekonomi Islam Unair Surabaya
http://suaramerdeka.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Beri komentar pada blog ini